Banjarmasin, 24 Maret 2022. Pertemuan ketiga Women20 (W20) berlangsung di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 23-24 Maret 2022. Pertemuan dua hari tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi yang menekankan pada memperjuangkan kesetaraan gender di bidang kesehatan yang dapat ditindaklanjuti untuk komitmen pemimpin. Pertemuan tersebut juga mengidentifikasi tantangan bagi perempuan dalam mengakses layanan kesehatan selama pandemi dengan fokus pada kesehatan ibu, kesehatan seksual, dan kesehatan reproduksi. Selain itu juga diidentifikasi kesenjangan gender terutama dalam merespon kesehatan terkait Covid-19. Pertemuan di Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan tersebut sekaligus sebagai tindak lanjut atas salah satu poin pembahasan dalam Kepresidenan Indonesia di G20 2022 yang mengusung tema “Arsitektur Kesehatan Global”.
Pada sesi pembukaan panel kedua, Selasa, (23/3), Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin pun mengungkapkan seputar fokus Kepresidenan G20 Indonesia di bidang arsitektur kesehatan global. Ia mengungkapkan bahwa setiap perempuan harus memiliki akses yang sama dan seimbang terhadap layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau. Ketika Covid-19 melanda dan mengganggu akses terhadap layanan kesehatan, perempuanlah yang menghadapi kondisi sosial ekonomi yang menantang bahkan berdampak terhadap diskriminasi.
“Untuk itu, kami dari Kementerian Kesehatan mengambil bagian penting dalam mempromosikan penguatan arsitektur kesehatan global dengan fokus pada 3 prioritas. Pertama, komitmen untuk membangun ketahanan sistem kesehatan global melalui mekanisme mobilisasi pembiayaan dan platform pengawasan genom. Kedua, komitmen untuk menyelaraskan standar protokol kesehatan global. Ketiga, komitmen untuk memperluas penelitian global dan pusat manufaktur termasuk di dalamnya tindakan untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respon pandemi dalam bentuk vaksin, terapi, dan diagnosis.”
Sejalan dengan fokus tersebut, Deputi Bidang Kesetaraan Gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Lenny N. Rosalin menyampaikan, “Perempuan, dengan perannya sebagai perempuan sangatlah penting dan strategis dalam penanganan situasi pandemi Covid-19 dalam keluarga. Dalam situasi dan kondisi yang tidak normal ini, perempuan dituntut untuk mampu menjaga tidak hanya kesehatan diri namun juga memastikan kesehatan seluruh anggota keluarganya. Dampak pandemi yang buruk terjadi pada kelompok tertentu seperti usia lanjut (lansia), orang dengan penyakit penyerta (komorbiditas), dan kategori rentan lainnya, seperti ibu hamil dan ibu menyusui.”
Lenny menambahkan, selain akses ke layanan kesehatan yang menjadi sulit dan kekhawatiran masyarakat terhadap penyebaran virus Covid-19, pendemi Covid-19 juga berdampak pada penurunan pemenuhan akses terhadap kontrasepsi dan partisipasi masyarakat dalam mengikuti program KB. UNFPA (2021) memperkirakan pandemi mengganggu penggunaan kontrasepsi untuk sekitar 12 juta perempuan dengan konsekuensi hampir 1,4 juta kehamilan yang tidak diinginkan selama tahun 2020 di 115 negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Chair Women20 Indonesia, Hadriani Uli Silalahi, mengatakan, “Fokus utama dari pertemuan ketiga ini adalah bagaimana W20 dapat mengedepankan respon isu kesehatan untuk bersama-sama mendorong proses pemulihan di berbagai sektor. W20 berkomitmen untuk memimpin advokasi yang membangun kembali praktik yang lebih baik, masa depan yang lebih setara, dan inklusif khususnya terkait isu kesetaraan gender di bidang kesehatan.”
Lebih jauh, Uli menjelaskan bahwa ada tiga poin utama yang telah diurai oleh seluruh peserta yang terlibat di dalamnya. Pertama, identifikasi tantangan bagi perempuan untuk mengakses layanan kesehatan selama pandemi, berfokus pada kesehatan ibu dan seksual dan reproduksi. Kedua, identifikasi kesenjangan terkait gender dalam respons kesehatan Covid-19. Ketiga, rekomendasi untuk ditindaklanjuti sebagai bentuk komitmen pemimpin.
Dalam menyampaikan kesimpulan pertemuan W20 Presidensi Indonesia yang ketiga ini, Co-Chair W20 Indonesia, Dian Siswarini, mengatakan, “Di sepanjang sesi ini kita mendengar bagaimana Covid-19 telah memberikan dampak buruk pada perempuan dan anak perempuan, khususnya dalam isu kesehatan. Kesehatan mental perempuan pun terkena dampak. Layanan perawatan kesehatan seksual dan reproduksi mengalami hambatan di bawah tekanan pandemi. Pembatasan akses dan kewajiban menjaga jarak menghambat akses perawatan kesehatan terkait Social, Reproductive Health dan Rights (SRHR). Bahkan, berdasarkan data WHO 2021, lebih dari 800 perempuan meninggal setiap hari secara global karena kehamilan dan persalinan."
Untuk itu, Dian menekankan, para pemimpin G20 harus segera mengambil tindakan untuk memberikan investasi lebih dan menjamin bahwa layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang esensial, termasuk kesehatan ibu, tersedia dan ditingkatkan. Berinvestasi pada informasi dan teknologi digital yang memungkinkan pengembangan telemedicine yang dapat diakses oleh perempuan, termasuk memastikan bahwa infrastruktur digital tersedia dan terjangkau. Terakhir, pastikan untuk mengakhiri kesenjangan upah gender, khususnya di sektor kesehatan dan penyediaan layanan kesehatan di mana perempuan bekerja secara dominan.
Memiliki kebijakan peka gender yang baik dapat memastikan bahwa kita mengurangi kesenjangan gender digital dan mendukung partisipasi perempuan dalam ekonomi. Selaras dengan tema Kepresidenan G20, W20 akan memimpin advokasi untuk membangun kembali yang lebih baik, masa depan yang lebih setara, inklusif, khususnya dalam acara ini, isu kesetaraan gender di bidang Kesehatan.
Pertemuan ketiga dalam rangkaian W20 ini digelar secara hybrid yang dihadiri sekitar 1.000 peserta, termasuk 200 orang yang hadir secara offline di Banjarmasin. Para peserta berasal dari berbagai lembaga termasuk perwakilan dari para negara anggota G20. Ada 21 pembicara yang terdiri dari para pakar dan aktivis perempuan dari berbagai lembaga dan institusi.
Dalam paparannya, Petra ten Hoope-Bender selaku Technical Adviser for Sexual and Reproductive Health and Rights UNFPA Office Geneva, mengungkapkan, “Terdapat beberapa hal yang berubah seiring dengan perkembangan Covid-19. Pemenuhan hak perempuan termasuk di dalamnya anak perempuan akan hak-hak seksual dan reproduksi mengalami penurunan. Layanan terhadap kesehatan seksual dan reproduksi juga turut mengalami penurunan karena banyaknya penyedia layanan yang berpindah pada respon darurat Covid-19. Hambatan terhadap transportasi dan mobilitas pun mendorong orang untuk berhenti mencari layanan perawatan yang berkaitan dengan seksual, reproduksi, kehamilan, kelahiran.”
Untuk itu, dibutuhkan perhatian yang lebih kepada penyedia layanan kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan kesehatan mental. Lingkungan kerja pun memberikan resiko terinfeksi yang tinggi, tekanan untuk memberikan performa yang terbaik, kekurangan peralatan penunjang, hingga kurangnya waktu untuk bersosialisasi dengan keluarga dan teman. Beberapa hal tersebut menjadi ancaman kesehatan di tengah krisis saat ini, jelas Petra lebih jauh.
Sementara itu, Guru Besar Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Meiwita Budiharsana menjelaskan bahwa secara alami, perempuan berada pada kondisi paling rentan saat kehamilan dan persalinan. Laki-laki tidak akan pernah merasakan risiko kehamilan dan persalinan sehingga tidak memerlukan layanan Ante-Natal Care (ANC). Ukuran pemenuhan hak reproduksi perempuan harus melihat gap atau kesenjangan layanan ANC di berbagai wilayah Indonesia, atau gender inequity menurut lokasi tempat tinggal. Tayangan data ANC memperlihatkan gender inequity, di mana ibu hamil di Indonesia Barat dan Tengah memiliki akses ANC 70%-90% yang lebih tinggi dari ibu hamil di provinsi-provinsi Indonesia Timur di mana ANC hanya antara 43% dan 68% (data BKKBN, 2018). Selain itu karena jumlah fasilitas kesehatan (faskes) primer swasta lebih banyak atau sama dengan faskes primer pemerintah (puskesmas), maka perempuan di Indonesia Barat dan Tengah juga bisa memilih ANC oleh bidan/dokter praktek swasta atau publik (puskesmas). Jam buka puskesmas yang sangat pendek, membuat ibu hamil lebih nyaman untuk ke layanan ANC swasta. Namun karena mayoritas di Indonesia Timur adalah faskes public, maka mereka tidak dapat memilih. Pilihan (choice) merupakan hal yang memenuhi hak reproduksi perempuan.
Meiwita Budiharsana juga memaparkan dampak pandemik COVID-19 adalah rumah bukan lagi tempat yang aman dirasakan perempuan (survey via telepon pada 866 perempuan oleh World Bank East Asia and Pacific Gender Innovation Lab (2020). Hampir setengah (43%) dari mereka merasa bahwa pandemi COVID-19 memperburuk rasa tidak aman di rumah. Dan 46% mengatakan pandemi ini memperburuk rasa tidak aman di lingkungan sekitar, dalam 6 bulan sebelum survey di bulan Agustus 2020. Jelas ini mencerminkan posisi tawar perempuan lebih rendah dari laki-laki yang diperkuat budaya setempat. Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017 juga memperkuat sikap ‘menerima’ perlakuan kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT) pada sekitar 31% perempuan. Adalah tugas berat bagi para delegasi W20 untuk memastikan bahwa tema “Global Health Architecture” G20 mencerminkan kemauan politik (political will) untuk menambah ketersediaan faskes dengan layanan ANC di Indonesia Timur serta edukasi perempuan tentang hak-hak mereka untuk merubah sikap ‘nerima’ risiko KDRT. Keduanya merupakan syarat mutlak dalam pengendalian risiko kematian ibu.
Co-Founder Sehati Indonesia, Anda Waluyo Sapardan, mengatakan, “Kepresidenan Indonesia pada G20 tahun ini memiliki proposisi nilai yang kuat untuk diplomasi kesehatan dengan menempatkan transformasi digital sebagai salah satu topik prioritas untuk G20 tahun ini. Indonesia memahami pentingnya kemakmuran bersama yang harus dicapai. Oleh karena itu, perlu peran dan aksi nyata untuk meningkatkan respons kesehatan agar pulih bersama.”
Ia memberikan contoh nyata seperti Sehati TeleCTG, salah satu teknologi buatan Indonesia yang memiliki kualifikasi untuk digunakan secara global. Hasil pengembangan teknologi di bidang kesehatan ini dapat memperkuat posisi Indonesia dalam mendukung pengembangan arsitektur kesehatan global, sekaligus membuat perbedaan dan kontribusi nyata bagi dunia dalam membantu menurunkan angka kematian ibu, neonatal, dan stunting intra uterine.
Sebagai tuan rumah, Gubernur Kalimantan Selatan, H. Sahbirin Noor, juga sempat hadir di acara pembukaan. Pemilihan Kota Banjarmasin sebagai tempat pelaksanaan pertemuan ketiga W20 tentunya tidak terlepas dari berbagai upaya yang telah dilakukan segenap pemerintah kota hingga provinsi untuk terus membangun kota ini. Tahun 2019, provinsi Kalimantan Selatan mendapatkan penghargaan dari Kementerian PPPA terkait Pembina Terbaik Forum Anak.
Selanjutnya pada tahun 2021, Kota Banjarmasin mendapatkan penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya (APE) Tingkat Utama. Penghargaan ini diberikan kepada kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang dinilai telah berkomitmen dalam pencapaian dan perwujudan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, serta memenuhi kebutuhan anak. Sementara itu, pada tahun yang sama, Kota Banjarmasin mendapatkan penghargaan Kota Layak Anak tingkat Madya.
Seluruh agenda W20 hingga Oktober 2022 digelar secara bertahap di beberapa titik destinasi prioritas di Indonesia. Pelaksanaannya bekerja sama dengan International Knowledge Partners, badan PBB, organisasi masyarakat sipil, akademisi, badan pemerintah hingga sektor swasta.
Setelah pertemuan pertama dan kedua masing-masing digelar di Likupang Sulawesi Utara pada Februari 2022 dan Batu Jawa Timur pada Maret 2022, plenary W20 hingga W20 Summit selanjutnya akan dilaksanakan di Manokwari, Papua Barat, pada Mei 2022, di Danau Toba, Sumatera Utara pada Juli 2022, dan Denpasar, Bali pada September hingga Oktober 2022 mendatang.